Selasa, 08 Februari 2011

sastra sunda

Sastra Sunda
Agenda Ajip di bidang sastera, jelas, tidak hanya terpaut pada sastera Indonesia melainkan juga pada sastera Sunda. Ada suatu periode tatkala Ajip juga turut menggubah sajak Sunda, semisal sajaknya yang terdapat dalam antologi Kandjutkundang atau dalam buku puisinya, Janté Arkidam. Namun yang lebih menonjol dari Ajip dalam hal ini, dan tetap menonjol hingga kini, kiranya adalah kegiatan-kegiatannya yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kritik sastra Sunda. Sejak dasawarsa 1950-an ia telah menulis sejumlah besar esai berisi kritik terhadap karya sastra dan dunia kepengarangan Sunda, sebagai bagian penting dari upayanya untuk menekankan bahwa sastra Sunda harus membangun “dasar-dasar kesadaran yang lebih kokoh” sebagaimana yang dikemukakannya dalam bungarampai Bébér Layar. Kesadaran bahwa sastra Sunda adalah semacam cermin dari masyarakat Sunda. Baginya, era ketika sastera Sunda cenderung mendudukkan diri atau didudukkan sebagai semacam pelipur lara masyarakat sudah berakhir atau mesti diakhiri. Lewat kritik-kritiknya, juga lewat jalinan pergaulannya dengan para pengarang Sunda, Ajip seperti berupaya meretas jalan ke arah semangat baru dalam sastra Sunda yang ditandai dengan “kesadaran yang lebih kokoh” itu tadi.
Sebagai penggugah kesadaran atau penyebar semangat dalam dunia sastra Sunda, Ajip tampaknya sangat menyadari pentingnya sastra Sunda berpijak pada atau terhubung dengan tradisi sastranya sendiri. Itulah kiranya yang turut mendorong Ajip untuk mencoba mentranskripsi warisan sastra lisan Sunda yang nyaris punah, semisal pantun, sehingga dapat diawetkan dalam bentuk dokumen dan karena itu terselamatkan untuk dapat diapresiasi sepanjang zaman. Itulah pula kiranya yang turut mendorongnya terjun ke dunia penerbitan karya sastra Sunda yang antara lain berupaya menerbitkan kembali karya-karya sastra Sunda yang pernah terbit di zaman kolonial. Yang dia terbitkan kembali bukan hanya buku-buku sastra Sunda yang dahulu kala diterbitkan oleh Balai Pustaka—sebuah badan penerbitan yang buku-bukunya dan dampak budayanya, seperti disinggung-singgung Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, pasti membekaskan kenangan tersendiri bagi Ajip dan generasinya—semisal karya-karya Mohamad Ambri atau Memed Sastrahadiprawira. Yang diterbitkan kembali oleh Ajip juga meliputi buku-buku sastra Sunda yang dahulu kala diterbitkan oleh penerbit-penerbit partikelir—yang pernah dianggap “liar” oleh ortodoksi Balai Pustaka, sehingga D.A. Rinkes pernah mencibirnya sebagai “saudagar kitab yang kurang hatinya”—semisal karya-karya Joehana. Dengan demikian, sebagai seorang kritikus, Ajip tidak merasa cukup hanya dengan melontarkan kritik-kritiknya, yang seringkali terasa pedas, melainkan pada saat yang sama turut pula mengupayakan agar tradisi sastra Sunda tetap hidup menghadapi berlalunya waktu.

Pelembagaan hadiah sastra Rancage sejak tahun 1980-an, yang antara lain diberikan kepada buku sastra Sunda dan orang-orang yang dianggap berjasa besar dalam pemeliharaan dan pengembangan bahasa serta sastra Sunda, kiranya terkait pula secara erat pada peran Ajip sebagai kritikus sastra Sunda. Dengan memberikan hadiah sastra kepada buku sastra Sunda, secara tidak langsung ia berupaya menunjukkan mana karya sastra Sunda yang layak diberi harga tinggi dan mana yang tidak. Pada saat yang sama, dengan memberikan hadiah sastra, ia juga tengah berupaya agar semangat dan kreativitas berkarya di kalangan para pengarang Sunda senantiasa terpelihara, tergugah, terjaga kelangsungannya.
Kini sudah saatnya dilakukan tinjauan kritis, yang ilmiah dan sistematis, terhadap bangunan kritik sastra Sunda yang telah didirikan oleh Ajip. Seberapa jauh, misalnya, kritik sastra Sunda yang selama ini dilancarkan oleh Ajip telah memperlihatkan pendekatan yang tersendiri terhadap sastra Sunda? Mengapa, misalnya pula, cerita-cerita Sunda yang cenderung dianggap “pop” seperti Nur Elah atau Si Buntung Jago Tutugan sepertinya dibiarkan tetap berada di luar perhatian kritisisme Ajip? Demikian pula jika dikaitkan dengan tradisi pemikiran di bidang sastra Sunda, dapat diajukan pertanyaan, misalnya, apakah kritik sastra Sunda yang dikembangkan Ajip telah berhasil mengatasi kegamangan konsepsi sastra seperti yang dahulu terkesan dari upaya Memed Sastrahadiprawira pada dasawarsa 1920-an: mencoba merumuskan konsepsi kesusasteraan Sunda yang tersendiri, dalam perhadapannya dengan konsepsi kesusastraan yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, tapi pada saat yang sama seperti terjerat oleh konsepsi sastra (litteratuur) ala Belanda? Dengan perkataan lain, tinjauan kritis atas kritik sastra Sunda yang selama ini dikembangkan oleh Ajip diharapkan pada gilirannya akan merangsang suatu pembahasan yang lebih jauh terhadap konsepsi Ajip mengenai sastra Sunda itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar